Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas VII

oleh -1,549 views
oleh
Marianus Teti, S. Pd, M.Th

Oleh Marianus Teti, S. Pd, M. Tp

Pengantar

Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat pluralisme yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan heterogenitas ras, suku bangsa, adat istiadat, budaya, agama, dan strata sosial masyarakat (Fatmawati, Laila, 2018).

Setiap suku bangsa di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan ribuan mempunyai kekayaan pemikiran, sikap dan perilaku yang tertuang dalam berbagai unsur kebudayaan.
Menurut (Anwar Hafid, dkk, 2015), “kemajemukan masyarakat Indonesia secara fakta deskriptif dapat diterima, namun secara preskriptif dalam beberapa kasus, kemajemukan tersebut seringkali dianggap sebagai faktor yang membawa kesulitan yang serius, yakni rentan terhadap konflik horizontal, sebagaimana pernah berkali-kali terjadi konflik antar kelompok di berbagai daerah di Indonesia.”

Permasalahan kemorosotan nilai, moral, dan akhlak telah menjadi problematika kehidupan bangsa Indonesia di abad ke-21 ini. Kemerosotan nilai tersebut terjadi karena ketidakefektifan penanaman nilai-nilai moral, baik di lingkungan keluarga, sekolah, agama, dan masyarakat secara keseluruhan.
Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kasus yang telah terjadi sepanjang beberapa tahun ini. Dalam sosial kemasyarakatan dapat dilihat dalam kasus-kasus berikut: Kasus etnik Dayak dan etnik Madura, dimana terjadi karena perbedaan tujuan komunikasi, etnosentrisme, seterotip (prasangka buruk dan baik), kepentingan Parpol, dll (Iskandar, 2004), terjadinya diskriminasi terhadap masyarakat terpencil (Hasan, 2016) atau diskriminasi terhadap masyarakat terpinggirkan (Suardi, Firdaus, 2019).

Kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua pada tahun 2019 dan kasus-kasus lain yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan demi ambisi pribadi dan perkauman.
Konflik-konflik itu terjadi karena adanya perbedaan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan menjadi alat yang digunakan oleh segelintir orang untuk saling menyerang satu sama lain (Awaru, 2017).

Konflik yang terjadi di berbagai wilayah merupakan wujud kegagalan dalam membangun karakter yang toleran dan masyarakat yang damai. Ketidaktoleransian yang menimbulkan konflik merupakan cerminan karakter semangat kebangsaan yang gagal terbentuk.

Kasus-kasus dalam dunia pendidikan dapat dikemukakan sebagai berikut: “Kasus diskriminasi gender dalam pembelajaran”, Eagly dalam (Handayani, 2018), guru berada dalam kecenderungan memberi perhatian dan berinteraksi secara berbeda kepada siswa laki-laki lebih dari siswa perempuan dan atau sebaliknya.

Terjadi perilaku bullying pada siswa remaja (Tumon, 2014). Di wilayah konflik traumatis seperti di Kalimantan Barat, seperti yang terlihat saat ini “remaja yang memiliki sifat curiga berlebihan dengan pihak luar, defensif dalam berdebat, memiliki semangat primordial yang kental dan memilih kekerasan sebagai model (Kristianus, 2017).

Oleh karena itu, pendidikan sangat dibutuhkan tidak hanya sebagai pencerdasan pengetahuan tetapi juga sebagai penanaman nilai-nilai karakter dan nilai-nilai keimanan kepada anak-anak bangsa. Di setiap sekolah, tentu diwarnai oleh beragam latar kebudayaan siswa, pendidik dan tenaga kependidikan. Berhadapan dengan keberagaman latar belakang peserta didik maka pendidikan multikultural menjadi sangat penting dalam membimbing dan mendidik siswa menjadi orang-orang yang berpengetahuan, berkarakter dan beriman.

Seperti kata (Kusmaryani, 2006) “berhadapan dengan keberagaman peserta didik maka pendidikan multikultural sebagai alternatif dalam penanaman nilai-nilai moral” untuk memberikan pencerahan karakter.
Pelaksanaan pendidikan harus dan wajib dilandaskan pada prinsip undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi “bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa” (Indonesia, 2003). Penjelasan mengenai pemahaman multikultur kepada siswa diperlukan agar dapat meminimalisir fanatisme agama dan budaya karena perasaan mayoritas sebab semua anak memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk bersekolah, terlepas dari apapun yang melekat pada jiwa dan fisik anak, termasuk semua kekurangan dan keterbatasan anak (Rasmitadila, 2020).

Pendidikan multikultural sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai konflik horizontal, seperti keragaman suku, ras, dan agama serta konflik vertikal tingkat pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya Indonesia (Amirusi & Oktapyanto, 2020). Sebab paradigma pendidikan multikultural mancakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain (Rahim, 2017). Selain itu, pendidikan multicultural adalah pendidikan mengenai unsur-unsur kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh (Koentjaraningrat, 2009) yaitu bahasa, sistem penegtahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian.

Pembelajaran Agama Katolik dalam pengembangan maupun pembentukan karakter telah diteliti oleh banyak peneliti. Namun yang menjadi kebaruan dalam topik penelitian ini adalah menggabungkan kedua topik besar ini ke dalam satu kesatuan sebagai cara untuk meningkatkan karakter siswa. Pendidikan multikultural dalam pembelajaran Agama Katolik merupakan bentuk katekese kontekstual berbasis kebhinekaan demi meningkatkan karakter anak-anak bangsa dan Gereja.
Pembelajaran Agama Katolik harus membawa siswa untuk menginternalisasi/menghayati semangat cinta kasih, melihat orang lain sama seperti dirinya sendiri dengan membangun etika vos amici mei estis (Kamu adalah Sahabat-Ku (bdk. Yoh. 15:15)) (Siri, 2018) dan semangat persaudaraan tanpa diskriminasi (NA no. 5) Nostra Aetate (Pernyataan tentang hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen). Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spess (GS) “Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern” artikel 3 nomor 60 dikatakan bahwa hendaknya hak atas buah hasil kebudayaan diakui oleh semua dan diwujudkan secara nyata dalam kebudayaan manusiawi dan sosial, selaras dengan martabat pribadi (Dignitas Humanae), tanpa membeda-bedakan suku, pria atau wanita, bangsa atau kondisi sosial.

Pendidikan Multikultural
Jams Albert Banks, dikenal sebagai perintis pendidikan multikultural memberikan definisi pendidikan multikultural sebagai “upaya reformasi sekolah total yang dirancang untuk meningkat keadilan pendidikan untuk berbagai kelompok budaya, etnis, dan ekonomi (Banks J. A., 2002). Peningkatan keadilan dan pengimplementasian pendidikan multikltural terlihat dalam lima dimensi, yakni (1) content integration/integrasi konten, (2) the knowledge construction process/ proses konstruksi pengetahuan, (3) prejudice reduction/pengurangan prasangka, (4) an equity pedagogy/pedagogi kesetaraan/keadilan, and (5) an empowering school culture and social structure. Each dimension is defned and illustrated in the next section/ pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (Banks J. A., 2010).

Selanjutnya, (Chinn, Donna M. Gollnick And Philip C., 2017) memberikan pandangan bahwa “multicultural education is a construct that acknowledges the diversity of students and their families and builds on that diversity to promote equality and social justice in education. Developing the knowledge and skills to work effectively with students from diverse groups is key in creating differentiated instruction to meet the needs of all students.”
Berdasarkan pandangan kedua pemerhati pendidikan multikultural di atas, maka untuk merealisasikan pendidikan multikultural dapat dilihat dalam kelima dimensi pendidikan multikultural.

Dimensi Integrasi Konten
Dimensi integrasi konten pendidikan multikultural melalui pembelajaran Agama Katolik dalam meningkatkan karakter siswa dapat diuraikan dalam beberapa indikator yakni:
Pertama, guru memasukan materi dan memberikan penjelasan mengenai sikap primordial, stereotipe, memiliki rasa curiga yang berlebihan kepada pihak luar, defensif dalam berdebat sebagai perilaku yang akan berdampak intoleran. Materi mengenai sikap primordial, stereotype, memilki rasa curiga yang berlebihan kepada pihak luar, defensif dalam berdebat sudah tercantum dalam kurikulum pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti kelas 7 pada bab I-bab VI yaitu “Bab I: Manusia Citra Allah, Bab II: Aku diciptakan sebagai perempuan atau Laki-laki, Bab III: Peran Keluarga, Sekolah, Gereja dan masyarakat bagi perkembanganku, Bab IV: Mengembangkan diri melalui pergaulan, Bab V: Meneladani karakter dan sikap Yesus, dan Bab VI: Nilai-nilai dasar yang diperjuangkan Yesus.” Saya menemukan materi pada bab I-VI pada kelas 7 ini sebagai dasar bagi pembentukan karakter multikultur.

Integrasi konten pendidikan multicultural dalam Pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti Sekolah Menengah Pertama dapat dilihat pada buku pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas 7-9. Buku Pembelajaran kelas 7 menguraikan dengan jelas dasar dari pendidikan multicultural itu sendiri di mana pada bab I membuka dengan “Manusia Citra Allah”. Pada bab I ini siswa diajak untuk merefleksikan dan mengenal diri. Siswa diarahkan untuk bertanya kepada dirinya sendiri “Who am I?”
Setiap orang yang menyadari dirinya sebagai citra Allah yang unik diajak untuk mengenal dan mengetahui “apa tugasku sebagai citra Allah yang unik?” Manusia memiliki kemmapuan untuk menjalankan tugasnya sebagai citra Allah namun di sini harus ada kesadaran mendalam akan kemmapuan yang diberikan Tuhan kepada setiap orang karena kemampuan yang diberikan kepada setiap orang terbatas bdk. Matius 25:14-30. Orang yang menyadari diri sebagai Citra Allah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dengan menggerakan segala kemampuannya walaupun terbatas adalah orang yang memiliki rasa syukur dan terima kasih karena ia diciptakan secitra dengan Allah.

Nilai-nilai karakter multicultural yang didapatkan dalam bab I pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti adalah:
Nilai karakter religius: Diajak mencari dan menemukan kenyataan bahwa setiap orang diciptakan berbeda-beda. Dengan kata lain, setiap manusia diciptakan secara unik. Keunikan yang dimiliki itu sematamata merupakan anugerah Allah, dan karena keunikan itu pula maka di mata Tuhan setiap orang berharga. Selain unik, setiap manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah sendiri, ia harus mampu memancarkan gambaran Allah dalam kehidupannya.

Nilai Karakter gotong-royong: Allah menciptakan manusia sebagai citra-Nya, bukan tanpa alasan, sebab dalam kedudukannya sebagai citra Allah setiap manusia dipanggil dan diutus Tuhan untuk bekerjasama dengan Tuhan dalam mengembangkan karya ciptaanNya menurut kehendakNya.
Nilai Karakter Toleransi: Keunikan manusia sebagai citra Allah mengisyaratkan bahwa setiap manusia dibekali Tuhan dengan kemampuan berbeda untuk saling mengembangkan diri dan menyempurnakan. Perbedaan kemampuan yang dianugerahkan Tuhan mengajak setiap orang untuk sadar akan keterbatasan dirinya sehingga mampu menempatkan diri secara benar dalam pergaulan bersama sesama.

Nilai karkater syukur: Kesadaran bahwa diri kita diciptakan sebagai citra Allah yang unik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya itu diharapkan mampu mendorong kita untuk bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkannya.
Kedua, guru menambahkan materi tentang pengurangan prasangka dalam perlakuan dan tingkah laku rasial dari etnis-etnis. Materi yang diberikan kepada siswa keals VII adalah dengan mengararhkan pada keenam bab yang diuraikan di atas. Selain itu secara eksplisit dapat dilihat pada keseluruhan materi pada kelas IX mulai dari bab I-bab VI di mana semuanya membahas tentang: Orang beriman menanggapi karya keselamatan Allah, Orang beriman hidup ditengah masyarakat, orang beriman menghargai martabat manusia, Orang beriman menjaga keutuhan Alam Ciptaan Allah, Orang beriman membangun persaudaraan dengan semua orang, dan Orang beriman membangun masa depan. Pembentukan karakter multicultural dan berwawasan multikultur kepada siswa sangat terasa dengan membahas sedetailnya mulai dari kelas VII hingga kelas IX. Pada Kelas VIII, siswa diajarkan tentang ajaran-ajaran Gereja: Yesus Kristus, Roh Kudus, dan Gereja serta sakramen-sakramennya.
Ketiga, guru menyampaikan materi dan penjelasan tentang sikap-sikap saling menghargai dan menghormati budaya dan agama lain, menghormati teman beragama lain ketika berdoa, saling menghargai satu-sama lain, baik sebagai laki-laki atau perempuan. Materi mengenai sikap saling menghargai dan menghormati budaya atau orang lain sudah ditungkan dalam kurikulum mulai dari kelas VII-kelas IX.

Keempat, guru memasukan kearifan lokal dalam penjelasan sebagai langkah-langkah dalam penyelesaian kasus. Kearifan lokal merupakan modal sosial dalam suatu suku dan budaya. Setiap kearifan lokal itu dijaga dan dipelihara secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Misalnya dalam penelitian ini ditemukan kearifan lokal “hukum adat” sebagai jalan mendamaikan pihak-pihak yang bermasalah. Selain itu acara Balala di mana hal ini dilarang beberapa hari untuk tidak berjalan atau bepergian jauh, semua warga diminta untuk berdiam diri di rumah. Hal ini dapat diikuti dan ditaati oleh semua masyarakat di daerah tersebut. Kemudian ada acara naik dango atau rumah kecil yang dapat dikuncungi oleh semua keluarga baik dalam suku dan etnis maupun dalam etnis lain.

Dimensi Proses Konstruksi Pengetahuan
Proses konstruksi pengetahuan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, Lingkungan sosial sebagai proses konstruksi sosial yaitu melalui guru, pengalaman pribadi melalui pembacaan dan pancaindera, dan tuntunan teman sebaya atau orang dewasa. Guru dan orang tua sama-sama memiliki peran penting dalam membangun pengetahuan dan karakter siswa. Anak tidak dipaksakan namun diarahkan kea rah yang benar sehingga anak tidak mengambil langkah yang salah. Misalnya ada siswa yang berhenti sekolah karena ia merasa orang tuanya tidak mampu membiayai sekolahnya, namun itu hanya prasangka dari siswa itu sendiri tanpa mengkonsultasikan dengan orang tua, guru, dan atau teman sebaya yang bisa membantu menyelesaikan tugasnya. Atau ada kasus lain di mana ada mahasiswa yang mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya dengan cara minum racun, gantung diri, dan atau meloncat dari ketinggian ke tanah. Ini merupakan tanggungjawab bersama atas tugas mulia ini. Tugas mendidik dan membina anak adalah tugas luhur bagi setiap orang tua dan orang dewasa.
Kedua, guru memberikan penjelasan mengenai sebab-akibat dari terjadinya konflik dan proses penyelesaiannya sehingga siswa dapat menunjukkan nilai-nilai karakter yang multikultur.

Apakah siswa dapat menginternalisasikan nilai-nilai yang diajarkan ataukah masih membutuhkan bantuan dari orang-orang dewasa atau orang-orang yang memiliki pengetahuan yang lebih darinya. Dalam penelitian ditemukan bahwa guru memberikan penjelasan kepada siswa tentang konflik dugaan korupsi yang dilayangkan oknum orang tua siswa kepada kepala sekolah. Karena mereka telah melaporkan kepala sekolah ke kepolisian tanpa meminta klarifikasi dengan kepala sekolah dan pihak sekolah sehingga berakibat pada oknum orang tua siswa tersebut dan tentu bagi siswa yang bersangkutan sendiri. Siswa tersebut akan menerima hukuman sosial, ia akan minder dengan sahabat-sahabatnya dan akan malu ketika melihat kepala sekolah. Sebab dari perilaku oknum orang tua tersebut mengakibatkan anak mendapat hukuman sosial yakni merasa minder dan malu untuk bertemu dengan kepala sekolah, hal ini juga bisa berakibat kepada konsenterasi belajar siswa.
Ketiga, adanya kesadaran diri dari siswa dalam menerapkan karakter-karakter atau nilai-nilai yang telah diajarkan. Kesadaran diri akan nilai-nilai itu adalah ketaatan siswa atas aturan yang dikeluarkan oleh sekolah mislanya, hadir di sekolah tepat waktu, membersihkan ruang kelas, menyiram bunga, dipercayakan untuk membuka dan menutup pintu ruang kelas, memberi salam kepada guru, orang tua, dan semua orang, menghargai diri sendiri dan orang lain.

Tentu dalam menjalankan smeuanya itu tidak semua siswa taat pada aturan sebab siswa atau anak masih berada dalam masa pembentukan diri.
Keempat, guru memberikan kesempatan untuk berdiskusi di kelas, membangun konstruksi pengetahuan majemuk (memberi penjelasan mengenai keberagaman). Siswa diberi kesempatan untuk bertanya dan menkomunikasikan pendapatnya. Siswa harus diberi kesempatan untuk belajar menyampaikan pendapat dan mendiskusikan dengan teman tanpa harus mempertahankan ide yang dianggap belum sesuai.
Kelima, konstruksi pengetahuan dapat dilakukan melalui individualisasi belajar, fleksibel, kebebasan, partisipasi aktif, peran guru, dan interaksi antar siswa. Pengetahuan multicultural siswa dapat dilatih melalui cara belajar yang fleksibel dan mandiri yaitu siswa dilatih untuk menemukan kemampuannya sendiri dan mengembangkannya dengan bangga dengan bantuan dan tuntunan orang tua sehingga tidak salah langkah.

Dimensi Pengurangan Prasangka
Dimensi pengurangan prasangka adalah sebagai berikut:
Pertama, Guru menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dan budaya siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam; baik segi ras, budaya ataupun sosial. Metode yang digunakan dalam pembelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti adalah metode tanya jawab, ceramah, dan diskusi. Ini adalah metode yang dianggap cocok oleh guru Agama Katolik dalam memberikan pembemlajaran.
Kedua, memberikan pemahaman yang benar terhadap budaya dan agama lain kepada siswa melalui penjelasan lintas budaya. Guru memberikan penjelasan kepada siswa bahwa semua agama dan budaya adalah benar bagi pemeluk dan pemiliknya. Kita tidak boleh menelai agama atau budaya lain dengan kriteria dari budaya atau agama kita sebab hal itu menunjukkan perilaku intoleransi dan pemkasaan kehendak akan orang lain.

Ketiga, memberi penjelasan kepada siswa untuk menerima segala bentuk pengalaman pahit di masa lalu dan mulai untuk membangun komunikasi dengan orang lain, memberi pemahaman kepada siswa untuk menerima diri dan dapat beradaptasi dengan kebudayaan lain. Pengalaman pahit di masa lalu memang sulit untuk dilupakan namun kita tidak menginginkan untuk mengulangi atau membalas kepada orang lain. Kita menerima semuanya itu dengan membangun semangat dan hidup menuju kehidupan baru di masa depan anak- cucu kita.

Dimensi Pedagogi Kesetaraan
Menurut Volts, dkk dalam (Rasmitadila, 2020) mengatakan bahwa terdapat enam elemen penting dari pembelajaran yang harus diatasi secara tepat untuk menanggapi keragaman siswa berbasis kelas yaitu: Pertama, penggunaan metode pembelajaran yang merupakan strategi dan teknik yang digunakan dalam pembelajaran. Kedua, bahan pembelajaran yang berwujud barang yang digunakan untuk mendukung pembelajaran dan pencapaiannya. Ketiga, lingkungan pembelajaran, yang terdiri dari lingkungan fisik kelas, manajemen perilaku, etos kelas, atau secara khusus merupakan “di mana pembelajaran akan berlangsung”. Keempat, isi pembelajaran menjelaskan apa yang akan diajarkan kepada siswa berkaitan dengan apa yang siswa yang harus tahu dan dapat lakukan, ata terkait “apa” dari proses pembelajaran atau pengetahuan, fakta, dan pemahaman dari pembelajaran. Kelima, kolaborasi pembelajaran yang berkaitan dengan bagaimana pendidik harus dapat berkolaborasi atau bekerja sama dalam memberikan pembelajaran kepada semua siswa yang termasuk kerja sama dengan orang tua. Keenam, penilaian dalam pembelajaran yang difokuskan pada proses asesmen baik berupa tes standar dalam skala besar atau kecil, serta berkaitan dengan pencapaian siswa terhadap apa yang telah mereka ketahui.
Dimensi Pemberdayaan Budaya Sekolah dan Struktur Sosial
Pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial adalah sebagai berikut: Pertama, struktur sosial: Struktur sosial sekolah dipilih dari berbagai budaya. Kegiatan ekstrakurikuler dapat melibatkan semua anggota masyarakat sekolah dari beragama budaya. Perilaku staf dalam merespon keberagaman sekolah, hubungan guru dengan siswa dari berbagai latar belakang budaya. Kedua, Perbandingan pembelajaran dari berbagai kebudayaan: Saling berbagi pengalaman budaya (orang tua, Kepala sekolah, guru, banguna fisik sekolah, proses belajar mengajar, terlibat dalam kegiatan kelompok). Ketiga, Pembanungan sekolah tidak berdasarkan budaya elit: Menerima semua siswa dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya. Tidak membedakan siswa yang kaya dan miskin. Dimensi ini penting dalam pemberdayaan budaya sekolah.

Tujuan Pendidikan Multikultural
Bertolak dari kedua pandangan pemerhati Pendidikan Multikultural di atas maka tujuan dari pendidikan multikultural dapat dilihat dengan jelas pada kedua ahli pendidikan multikultural berikut:
Menurut D.J Skeel dalam (Ibrahim, 2013), mengidentifikasikan tujuan pendidikan berbasis multikultural sebagai berikut: Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan, jenis kelamin; Untuk memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; Untuk membantu siswa dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok.
Jams A. Banks melihat lebih ke kedalaman tujuan pendidikan multikultural yakni terciptanya kebaikan bersama dan persemakmuran. Hal ini dapat dilihat pada komentarnya “tujuan penting dari pendidikan multikultural adalah untuk meningkatkan hubungan ras dan untuk membantu semua siswa memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam interaksi lintas budaya dan dalam tindakan pribadi, sosial, dan sipil yang akan membantu membuat negara kita lebih demokratis” (Sleeter, 2005). Menurut Banks, tujuan dari pendidikan multikultural juga dapat dikatakan sebagai proses konstruksi pengetahuan multikultural, pengurangan diskriminasi prasangka, pedagogi kesetaraan, dan pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial untuk semua anak dan remaja (Vavrus, 2002).
Pendidikan multikultural sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai konflik horizontal, seperti keragaman suku, ras, dan agama serta konflik vertikal tingkat pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya Indonesia (Amirusi & Oktapyanto, 2020). Selain itu, pendidikan multikultural diperlukan untuk membentuk karkater berwawasan kebangsaan yaitu bersikap dan berperilaku berdasarakan nilai-nilai yang tertuang dalam butir-butir Pancasila yaitu unsur Ketuhanan, adil dan beradab, persatuan, musyawarah/mufakat, dan keadilan (Intan & Handayani, 2017). Kelima butir ini diperinci dalam lima nilai karakter yang tertuang dalam Perpres 87 tahun 2017.(**)

No More Posts Available.

No more pages to load.